EMY
NUR INDAH SARI (201105090035)
PEMIKIRAN TEOLOGI MENURUT
A.
MUHAMMAD
ABDUH
Syeikh Muhammad Abduh adalah seorang putra Mesir lahir 1266 H/1849
M. seorang mujahid dan mujaddid yang terkenal. Seorang pemikir, teolog, dan
pembaru islam dalam Mesir. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah asal Turki
yang menetap di mesir, sedang ibunya bernama Junainah.
Selaku anak dari keluarga yang taat beragama, ia mula-mula belajar
mengaji al-Qur’an. Berkat otaknya yang cemerlang, dalam waktu dua tahun ia
hafal al-Qur’an seluruhnya, padahal ketika itu ia masih berusia dua belas
tahun. Kemudian ia meneruskan pelajaran agama di masjid Ahmadi di desa Thanta.
Ahirnya ia sampai di Universitas al-Azhar Kairo, tamat tahun 1877 dengan hasil
yang memuaskan.
Di antara beberapa karya Muhammad Abduh yang dapat kami kemukakan
di sini antara lain :
1.
Risalah
Tauhid
2.
Syarah al-Bashair al-Nashiriyah Fil Mantiq
3.
Hassyah ‘ala Syarah al-Dawani Lil ‘Aqaid al-Adudiyah
4.
Syarah Maqamat Badi’as Zaman al-Hamazani
5.
Al-Islam wan Nasraniah ma’al Ilmi wal-Madaniyah
6.
Taqrir Fi Ishlahi al-Mahaim al-Syar’iyah
Pemikirannya
tentang
a.
Tentang
Tuhan
Hukum-hukum wajib bagi Tuhan adalah bahwa ia Qadim (tidak bermula).
Di antara sifat-sifat wajib pada diri-Nya ialah sifat Hayat (hidup). Sifat ini
diiringi oleh Ilmu (mengetahui) dan Iradah (kemauan). Hidup merupakan sifat
kesempurnaan bagi Wujud-Nya. Tuhan wajib bersifat Ilmu (Maha tahu). Yang
dimaksud Ilmu di sini adalah terbukanya tabir sesuatu bagi Zat yang melekat
sifat itu padanya, yakni pangkal sumber, pangkal bagi terbukanya tabir sesuatu
itu.
Segala sifat yang dipandang menjadi kesempurnaan bagi wujud,
wajiblah ada pada dirinya. Maka karena itu tentulah Zat Yang Wajib Ada itu
berilmu (‘Alim Maha Tahu).
b.
Tentang
Islam
Dia ingin bebas dari ikatan-ikatan mazhab dan paham keagamaan,
memiliki cara berpikir yang lebih bebas, banyak membaca buku filsafat,
memperdalam perkembangan pikiran kaum rasional Islam (Mu’tazilah). Menurutnya,
orang tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang asli seperti
apa yang dianjurkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan gerakan Wahabinya.
Karena zaman sudah berubah dan ajaran Islam perlu disesuaikan dengan keadaan
modern sekarang.
Dia berpendapat bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an
dan Hadist mengenai ibadah itu tegas, jelas dan terinci. Sedangkan ajaran-ajaran
mengenai Muamalah hanya merupakan dasar-dasar yang global. Dan ajaran-ajaran
tentang muamalah dalam Al-Qur’an maupun Hadist itu sedikit terbatas. Karena
prinsip-psrinsipnya itu bersifat umum tanpa rincian, maka masalahnya
memungkinkan dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Islam menempatkan akal pada posisi yang tinggi. Wahyu tidak membawa
ajaran-ajaran yang bertentangan dengan akal. Wahyu dan akal sama-sama bersumber
dari-Nya, mustahil terjadi pertentangan antara keduanya. Keadaan manusia itu
dalam keseluruhan dan jenisnya tidak sama martabat ilmu pengetahuannya, dan
tidak sama daya reaksi penerimaannya semenjak dia lahir sampai kepada puncak
kesempurnaannya. Bahkan telah ditetapkan Allah SWT, bahwa pertumbuhan umat
manusia iru adalah berdasarkan ketentuan fitrah keadaan masing-masing.
c.
Tentang
Akal Pikiran
Akal adalah daya kekuatan yang hanya dimiliki oleh manusia. Karena
itu pulalah yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Akal merupakan pangkal
kehidupan manusia yang menjadi sendi kelangsungan hidupnya. Dalam beragama,
manusia dibekali akal untuk memahami ajaran-ajarannya.
Menurut Muhammad Abduh, dengan akal manusia dapat :
1.
Mengetahui
Allah Swt dan siat-sifat-Nya
2.
Mengetahui
adanya hidup di akhirat
3.
Mengertahui
bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Allah Swt dan
berbuat baik, sedagkan kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Allah Swt
dan pada perbuatan jahat
4.
Mengetahui
wajibnya manusia mengenal Allah Swt
5.
Mengetahui
wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya dia menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiaannya di akhirat
6.
Membuat
hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.[1]
Namun haruslah disadari bahwa kebenaran yang dicapai semata-mata
dari akal itu adalah nisbi, relatif. Sungguhpun akal dapat mencapainya,
tetap tidak terjamin kebenarannya. Oleh karena itulah orang-orang Khawas membutuhkan
konfirmasi dalam bentuk wahyu yang membawa pengetahuan yang mentrentramkan jiwa
manusia.
d.
Tentang
Manusia
Orang yang berakal dan punya perasaan yang sehat mengakui dan
menyaksikan bahwa dirinya sendiri adalah maujud (ada). Tentang perbuatan
manusia dalam hubungannya dengan kodrat Tuhan, Muhammad Abduh merumuskan dua
hal:
1.
Manusia
mempunyai usaha yang bebas dengan kemauan dan kehendaknya untuk mencari jalan
yang dapat membawanya kepada kebahagiaan.
2.
Kodrat
Tuhan tempat kembalinya manusia
Di antara tanda (bekas) kodrat (kekuasaan) Allah itu ialah, bahwa
ia sanggup memisahkan manusia dari apa yang dimauinya, dan tidak seorang pun
selain dari Allah yang sanggup menolong manusia dalam apa yang tidak mungkin
dicapainya.
Di antara
rahasia kejadian benda-benda di ala mini ialah adanya berabeka makhluk dalam
kejadiannya.
Masing-masing punya ketentuan yang khusus bagi
dirinya. Maka Tuhan yang memberi wujud telah memberikan kepada macam-macam
jenis dan oknum-oknum itu aan ketentuan wujudnya sendiri-sendiri menurut yang
cocok baginya. Kemudian setiap wujud mempunyai pula sifat-siat yang
mengikutinya.
B.
MUHAMMAD
IQBAL
Dilahirkan di Sialkot, 22 Fbruari 1873. Nenek moyang berasal dari
Kasta Brahma Kasymir yang telah memeluk agama Islam kira-kira 300 tahun
sebelumnya. Sewaktu di Lahore ia belajardi Jurusan Filsafat dengan memperoleh
gelas Master of Art (M.A), Kemudian diangkat menjadi dosen filsafat di Oriental
College Universitas Punjab.
Karangan-karangannya cukup banyak yang menggunakan bahasa Persia,
antara lain yang sudah dibukukan adalah:
1.
Asrar-i-Khudi
2.
Rumuz-i-Bekhudi
3.
Payam-i-Mashriq
4.
Zabur-i-Adjam
5.
Javid
Nama
Pemikiran tentang
a.
Tentang
Tuhan
Tuhan sang hakikat
terakhir adalah pribadi mutlak ego tertinggi Yang Maha Esa. Keyakinan pada
keesaan Tuhan tampa menunjukkan nilai pragmatis yang tinggi karena member
kesatuan tujuan dan kekuatan individu. Tuhan menyatakan diri-Nya dalam pribadi
terbatas, dan karena itu usaha mendekatkan diri kepada-Nya hanya mungkin lewat
pribadi. Dengan demikian, Tuhan tidak bias diperoleh dengan meminta dan memohon
semata, karena hal semacam itu menunjukkan kelemahan dan ketidakberdayaan.
Mendekati Tuhan haruslah konsisten dengan kertinggian martabat pribadi. Manusia
harus mencari dengan kekuatan dan kemauannya sendiri.
Manusia harus menyerap
Tuhan ke dalam dirinya, menyerap sebanyak mungkin sifat-sifat-Nya dan
kemungkinan ini tidak terbatas. Dengan menyerap Tuhan ke dalam diri tumbuhlah
ego. Ketika ego tumbuh menjadi super ego ia naik ke tingkatan wakil Tuhan. Ego
trakhir adalah tenaga Yang Maha Kuasa, gerak ke depan yang merdeka suatu gerak
yang kreatif.
b.
Tentang
Negara Islam
Sang individu sendiri,
komponen dasar masyarakat Islam memperoleh status mulia. Dengan mengikuti
al-Qur’an, Iqbal menekankan tujuan misi utama manusia sebagai wakil Tuhan.
Adalah tugas muslim yang diberikan Tuhan untuk melaksanakan kehendak-Nya di
muka bumi. Maka bagi Iqbal manusia adalah seorang mukmin yang menerima tanggung
jawab yang diamanatkan al-Qur’an dan berusaha melahirkan masyarakat teladan.
Muslim dan bukan orang muslim adalah sama. Perwujudan diri dan pemenuhan
pribadi mengharuskan keterlibatan masyarakat muslim.
Tujuan
Negara-negara Islam adalah menerima prinsip-prinsip Islam dan berusaha
mewujudkan di dalam sejarah melalui suatu organisasi manusia tertentu.
Konstitusi Negara Islam yang mencerminkan doktrin tauhid, didasarkan atas dua
dalil pokok. Supermasi hukum Islam atau Syari’at dan persamaan mutlak di antara
para anggota. Huum Islam itu suatu hukum Komprehensif yang merupakan cetak biru
masyarakat Islam. Dasar islam kedua untuk Negara dan masyarakat Islam ialah
persamaan mutlak, yang berakar dalam doktrin tauhid (keesaan Tuhan) dan misi
Nabi berdasarkan al-Qur’an.
c.
Tentang
Masalah Takdir
Takdir adalah
masalah yang amat penting sejarah umat manusia dan sampai pasda masa modern
para ahli Kalam, selalu ikut berusaha memecahkan sejauh kemampuan mereka.
Masalah takdir berkaitan erat dengan kehendak bebas manusia. Kebaikan bukanlah
persoalan keterpaksaan, melainkan penyerahan ego secara sukarela dan merdeka
kepada cita-cita moral dan timbul dari suatu kerjasama yang ikhlas antara
ego-ego yang merdeka. Menurutnya, kebebasan adalah syarat kebaikan.
Tuhan telah
menciptakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, namun segala yang terjadi
adalah sesuai dengan kodratnya. Dalam pengertian ini yang membuat takdir adalah
manusia sendiri. Kegiatan kreati Tuhan tidak pernah berhenti kapan saja Tuhan
menghendaki sesuatu terjadi cukuplah berkata Kun (jadilah) maka akan jadi.[2]
d.
Tentang
Kedudukan Manusia
Kedudukan manusia
amat penting dan tertinggi di antara semua makhluk dan yang membuat manusia
amat berharga serta bernilai tinggi adalah pribadi atau ego yang dimilikinya.
Kita dapat secara langsung melihat bahwa ego itu nyata dan berwujud. Pada
pokoknya ego bersifat memberikan penghargaan dan menghargai dirinya sendiri
dalam kegiatannya sendiri. Tiada suatu penghargaan tanpa suatu hasil yang
dicapai dan tidak ada hasil tanpa diiringi tujuan. Ego berkembang menjadi wujud
pribadi yang kuat dan penuh dengan tujuan didasari oleh cita-cita dan
aspirasi-aspirasi yang menggambarkan suasana lingkungan. Karena
perkembanganitu, egopun bergantung pada suatu hubungan yang diciptakannya
dengan benda nyata, dunia, masyarakat dan kenyataan-kenyataan.
Faktor-faktor yang
memperkuat ego manusia. Menurut Iqbal adalah :
1.
Isyq
(cinta)
2.
Faqr
yang dpat diartikan perasaan sama sekali tidak mengharapkan ganjaran-ganjaran
yang akan diberikan dunia
3.
Semangat
atau keberanian
4.
Toleransi,
rasa tenggang rasa
5.
Kasbul
Halal dapat diartikan hidup dengan penghasilan yang halal
6.
Bekerja
orisinil dan kreatif
DAFTAR PUSTAKA
Al
Maududi, Abul A’la, Prinsip-prinsip islam, terjemahan Abdullah suhaili,
PT Al-ma’rif, Bandung, 1983
Abduh,
Shaikh Muhammad, Risalah Al-Tauhid, Kairo: 1969
Hanafi,
Ahmad, Pengantar Teologi Islam, cet. III, Jakarta: Pustaka Al-Husnah,
1989
Hanafi,
Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1969
No comments:
Post a Comment