BAB I
PENDAHULUAN
Allah SWT. telah
menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya
mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusankepentingan
hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa-menyewa, bercocok tanam
atau perusahaan yang lainnya, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun
untuk kemaslahatan umum. Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi
teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh. Akan
tetapi, sifat tamak pada manusia tetap ada, suka mementingkan diri sendiri
supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga menjaga
kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancer dan teratur.
Oleh sebab, agama member peraturan yang sebaik-baiknya: karena dengan
teraturnya muamalat maka kehidupan manusia jadi terjamin pula dengan
sebaik-baiknya sehingga perbantahan dan dendam tidak akan terjadi.
Allah menciptakan manusia dengan
minat dan niatnya untuk selalu mengadakan hubungan antar sesama manusia. Dan
hubungan itu dimaksudkan agar selama hidup akan terjadi kegiatan saling bantu
membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup masing-masing supaya terbentuk
kehidupan sosial yang sejahtera, bahagia lahir dan batin.
Nasehat
Luqmanul Hakim kepada anaknya, “wahai anakku berusahalah untuk menghilangkan
kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan
jalan halal itu tidak akan medapat kemiskinan, kecuali dia di hinggapi oleh
tiga macam penyakit:
1.
Tipis kepercayaan agamanya
2.
Lemah akalnya
3.
Hilang kesopanannya.
Jadi, yang
dimaksud dengan muamalat adalah tukar menukar barang yang bermanfaat dengan
cara yang ditentukan seperti jual beli, sewa menyewa, upah, pinjam meminjam dan
sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN JUAL BELI
Pengertian jual beli (الْبَيْعً)
menurut bahasa ialah, “mempertukarkan sesuatu dengan sesuatu”.[1] Dengan
kata lain memeberikan sesuatu dengan imbalan sesuatu atau menukarkan sesuatu
dengan yang lain. Ia merupakan sebuah nama yang mencakup pengertian terhadap
kebalikannya yakni al-syira’ (membeli). Demikian al-bai’ sering diterjemahkan
dengan jual beli.
Pengertian al-bai’ secara
istilah para fuqaha menyampaikan definisi yang berbeda-beda antara lain sebagai
berikut ini.[2]
1.
Menurut fuquha Hanafiyah : Menukarkan harta dengan
harta melalui tata cara tertentu, atau mempertukarkan sesuatu yang disenangi
dengan sesuatu yang lain melalui tata cara tertentu yang dapat dipahami sebagai
al-bai’, seperti melalui ijab dan ta’athi (saling menyerahkan).
2.
Menurut Imam Nawawi : Memepertukarkan harta dengan harta
untuk tujuan pemilikan
3.
Menurut Ibnu Qudamah : Mempertukarkan harta dengan
harta dengan tujuan pemilikan dengan penyerahan hak milik.
Pengertian jual beli
B.
RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
1.
Penjual dan pembeli
a.
Berakal
orang yang gila atau bodoh tidak sah jual
belinya.
b.
Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)
Niat penuh kerelaan yang ada bagi setiap pihak untuk melepaskan
hak miliknya dan memperoleh tukaran hak milik orang lain harus “suka sama suka”
untuk melakukannya. Kalau pemaksaan dilakukan walaupun terjadi ata sepakat,
maka jual belinya tidak sah.
c.
Baligh
Para pihak yang dapat melakukan tindakan jual beli kalau
dilihat dari tingkat usia mencapai 15 tahun. Bagi seseorang yang belum mencapai
usia itu tidak sah melakukan jual beli kecuali atas tanggung jawab walinya
terhadap barang-barang yang mempunyai nilai kecil.
d.
Bukan Pemboros
Para pihak dapat menjaga hak miliknya sebagaimana dirinya
memiliki hak dan kewajiban untuk dapat melakukan tindakan hukum sendiri. Bagi
orang yang masih dibawah umur tidak dapat melakukan tindakan hukum sendiri,
karena harta yang dimiliki ada dalam keadaan mubazir bagi dirinya dan berada di
tangan walinya.
2.
Benda yang dijual belikan
a.
Suci
Barang najis tidak sah dijual dan setiap benda yang menurut
perintah agama dan kebersihannya dianggap tidak ada, akan termasuk benda haram
atau najis. Larangan ini dimaksudkan untuk menghilangkan sifat materialistis
manusia bahwa bagi setiap benda dapat diperjual belikan.
b.
Ada manfaatnya
Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Setiap
benda yang akan dijualbelikan sifatnya dibutuhkan pada umumnya dalam kehidupan
manusia. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan dilarang untuk dijual belikan
dengan benda lain, karena termasuk dalam arti perbuatan yang menyia-nyiakan
harta yang dilarang Allah.
c.
Barang harus dalam keadaan nyata (konkrit)
Disyaratkan dalam jual
beli bahwa benda sebagai objek hukum yang harus benar-benar dapat
diserahterimakan sesaat setelah terjadi aqad. Misalnya, ikan dalam laut, barang
rampasan yang masih berada ditangan yang merampasnya.
d.
Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual
Kepunyaan yang diwakilinya atau mengusahakan. Benda sebagai
objek jual beli merupakan hak milik penjual atau dikuasakan kepeda seseorang
tertentu untuk dijualkan.
e.
Barang tersebut diketahui oleh penjual dan pembeli
Sesuatu yang berbentuk dengan ukuran, zat, kadar dan sifat-sifatnya
jelas yang diketahui oleh kedua belah pihak. Hal ini sangat perlu untuk
menghindari timbulnya peristiwa hukum lain setelah terjadi perikatan.
3.
Ijab dan Kabul
Jual beli sebagai suatu perikatan akan
menimbulkan hak dan kewajiban para pihak (penjual-pembeli) setelah terjadi kata
sepakat. Hak dan kewajiban itu diwujudkan dengan pemindahan hak milik
masing-masing pihak. Sedangkan kata sepakat yang terjadi merupakan pernyataan masing-masing pihak sebelum pemindahan hak
milik dilakukan dan disebut “Ijab-Kabul”. Ucapan ijab dan Kabul itu sebagai
tanda jadi jual beli barang. Pernyataan ijab
dan Kabul sebagai akhir proses tawar menawar yang merupakan kata sepakat.
Ijab
adalah perkataan penjual. Seperti “saya menjual barang ini sekalian”. Kabul
adalah ucapan pembeli, “saya terima dengan harga sekian”. Suka sama suka itu
tidak dapat di ketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan, karena perasaan
suka itu bergantung pada hati masing-masing.
C.
BEBERAPA JUAL BELI YANG SAH,
TAPI DILARANG
Rukun-rukun dan syarat-syarat yang
telah ditetapkan dalam jual beli kalau dipenuhi akan menimbulkan peristiwa
hukum jual beli dalam pelaksanaannya. Dan jual beli menurut hukum islam
bersifat terbuka, hatinya siapapun boleh melakukannya asalkan rukun-rukun dan
syarat-syartnya terpenuhi. Tetapi sifat terbuka dalam jual beli itu tergantung
dari cara yang digunakan. Cara yang menimbulkan persaingan antar pihak karena
kepentingannya tidak diizinkan, sebab dengan cara itu tidak menimbulkan
pemerataan pendapatan antar para penjaul, suatu cara yang digunakan tetapi
tidak diizinkan itu akan menjadi cermin perbandingn dalam kehidupan dunia
perdagangan dewasa ini, sehingga sering menimbulkan ketidak stabilan ekonomis.
Mengenai jual beli yang tidak
diizinkan oleh agama, disini akan diuraikan beberapa cara saja sebagai contoh
perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi sebab timbulnya larangan itu
antara lain:
a.
Menyakiti penjual, pembeli
atau orang lain
Dalam peristiwa hukum jual beli
banyak dijumpai banyak cara yang digunakan oleh orang khususnya untuk memenuhi
kebutuhan tertentu. Salah satu cara yang sering menimbulkan perlakuan tidak
adil dalam jual beli yang tidak dapat ditawar lagi dan kalau dilakukan
kemungkinan menimbulkan umpat-umpatan. Dan tentunya tidak dapat dihindari akan
terjadinya konflik.
b.
Menyempitkan kemampuan daya
beli masyarakat
Hal ini berkenaan dengan kegiatan
tingkah laku dalam jual beli yang menimbulkan naiknya harga waluapun harga
banyak tersedia dipasaran tertentu atau
turunnya harga ditempat tertentu lainnya.
c.
Merusak kehidupan
perekonomian masyarakat
Maksudnya dengan penggunaan
spekulasi dagang dan menumpuk barang dengan harapan pada suatu waktu harga
menjadi naik akan menimbulkan keterbasan peredaran barang.
Ketiga faktor ini kalau terjadi mungkin berakibat
stabilitas perekonomian terganggu, sehingga akan dapat menimbulkan jurang
pemisah antara yang mampu dan tidak mampu bahkan berakibat fatal lainnya berupa
kejahatan akan dapat terjadi. Karena itu suatu kegiatan yang tidak menunjukkan
perdamaian antar sesame manusia dalam jual beli tidak dibenarkan.
Beberapa
jual beli yang sah, tapi dilarang adalah sebagai berikut:
1.
Membeli barang dengan harga
yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan dia tidak menginginkan barang
itu tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu.
2.
Membeli barang yang sudah
dibeli orang lain masih dalam masa khiyar
3.
Mencegat orang-orang yang
dating dari desa di luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke
pasar dan sewaktu itu mereka belum mengetahui harga pasar
4.
Membeli barang untuk ditahan
agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum
memerlukan barang itu. Dilarang karna dapat merusak ketentraman umum
5.
Menjual suatu barang yang
berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh pembelinya
6.
Jual beli yang disertai
tipuan. Berarti jual beli itu ada tipuan, baik dari piha penjual dan pembeli,
pada barang ataupun ukuran dan timbangannya.
D.
HUKUM-HUKUM DALAM JUAL BELI
Jual beli walaupun merupakan aqad,
tetapi dalam pelaksaannya para pihak yang menyelenggarakan dikenakan
hukum-hukum agama karena kegiatannya. Dan ketentuan hukum yang didapat
dikenakan kepada para pihak itu, ialah:
1.
Mubah (boleh), artinya
setiap orang islam dalam mencari nafkahnya boleh dengan cara jual beli dan yang
memenuhi syarat.
2.
Wajib, artinya apabila dalam
mempertahankan hidup ini hanya satu-satunya (jual beli) yang mungkin
dilaksanakan oleh seseorang.
3.
Haram, yaitu jual beli
barang yang dilarang oleh agama dan tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli.
4.
Sunat, yaitu apabila menjual
sesuatu kepada seseorang yang sangat membutuhkan barang tersebut.
E.
DASAR HUKUM JUAL BELI
Firman
Allah SWT QS.Al-Baqarah {2}: 275 :
وَاَحَلَّ اللهً الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبوا
“
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ”.
Firman
Allah SWT QS.An-Nisa {4}: 29 :
ياَيًّحَاالَّذِيْنَ امَنٌوْالاَتَأْكُلُوْااَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكٌمْ بِاالْبَاطِلِ اِلااَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةًعَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ
“
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan bathil kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka diantara kamu “
Sabda
Rasulullah SAW :
لاَبَيْعَ اِلاََّفِيْمَايُمْلَكُ. رواه
ابوداوودوالترمدي
“
Tidak sah jual beli selain mengenai barang yang dimiliki “
F.
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sejak dilahirkan sampai meninggal dunia manusia selalu
mengadakan hubungan dengan manusia lain. Hubungan ini timbul berkenaan dengan
pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohaninya. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan
rohani manusia selalu mewujudkan dalam suatu kegiatan yang lazim disebut sebagai
“tingkah laku”. Dan tingkah laku yang kelihatan sehari-hari terjadi sebagai
hasil proses dari adanya minat yang diniatkan dalam suatu gerak untuk memenuhi
kebutuhan saat tertentu.
Jual
beli ialah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu
(akad). Dalam surat Al-Baqarah : 275 dijelaskan bahwa “Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.”
DAFTAR
PUSTAKA
H. Rasjid Sulaiman, 1994, Fiqh Islam (Hukum Fiqh
Islam), Bandung, PT. Sinar Baru
Algensido Offest
R. Djamali Abdul, 2002, Hukum Islam, Bandung, CV. Mandar Maju
A. Ghufron Mas’adi, 2002, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada
alhamdulillah
ReplyDelete