MASYARAKAT
PERKOTAAN DAN MASYARAKAT PEDESAAN
Banyak
alasan pentingnya membicarakan masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan.
Selain belum ada kesepakatan umum tentang keberadaan masyarakat desa sebagai
suatu pengertian yang baku, kalau dikaitkan dengan pembangunan yang
orientasinya banyak dicurahkan ke pedesaan, maka pedesaan memiliki arti
tersendiri dalam kajian struktur social atau kehidupannya.
Orang
kota membayangkan bahwa desa ini merupakan tempat orang bergaul dengan rukun,
tenang, selaras dan “akur”. Akan tetapi justru dengan berdekatan, mudah terjadi
onflik atau persaingan yang bersumber dari peristiwa kehidupan sehari – hari.
Bayangan bahwa desa tempat ketentraman pada konstelasi tertentu ada benarnya,
tetapi yang nampak justru bekerja keraslah yang merupakan syarat pokok dapat
hidup di desa.
Demikian
pula dalam konteks pembangunan desa, semula orang beranggapan bahwa masyarakat
pertanian mengalami involusi pertanian yang berjalan dalam proses pemiskinan,
dan apapun teknologi dan kelembagaan modern yang masuk ke pedesaan, akan sia –
sia. Adanya kontroversi kesan atau pendapat mungkin lebih tepat bila
dihubungkan dengan berbagai gejala social seperti konsep – konsep perubahan
social atau kebudayaan.
1.
MASYARAKAT
PERKOTAAN
a. Pengertian
Masyarakat
Menurut
kami, Kota memiliki dua pengertian yaitu :
1)
Kota adalah
sebagai pusat pendomisilan yang bertingkat – tingkat sesuai dengan sistem
administrasi Negara yang bersangkutan.
2) Kota
adalah suatu himpunan penduduk masalah yang tidak agraris yang bertempat
tinggal di dalam dan di sekitar suatu kegiatan ekonomi, pemerintah, kesenian,
ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Menurrut
undang – undang Nomor 5 Tahun 1979 yang
di maksud dengan kota adalah :
Ibu
kota seluruh Indonesia (Jakarta). Ibu kota Propinsi (ada 27 propinsi). Ibu kota
kabupaten, ibu kota Kotamadya, dan Kota Administratif (Jayadinata, 1986, hal.
85.). Ibu kota Kecamatan yang mempunyai penduduk lebih dari 20.000 jiwa, secara
teknis untuk keperluan statistik dapat di sebut kota.
Sebelum
kita bicara lebih lanjut masalah masyarakat, baiklah kita pelajari dahulu
definisi tentang masyarakat. Mengenai arti masyarakat, kita kemukakan beberapa
definisi yaitu :
1) R.
Linton (Seorang ahli Antropologi) : Masyarakat adalah setiap kelompok manusia
yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama, sehingga dapat mengorganisasikan
dirinya berfikir tentang dirinya dalam satu kesatuan social dengan bata – batas
tertentu.
2) M.J.
Herskovits :
Masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti satu
cara hidup tertentu.
3) J.L.
Gillin dan J.P. Gillin :
Masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan,
tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu meliputi
pengelompokan – pengelompokan yang lebih kecil.
4) S.R.
Steinmentz (Sosiolog Belanda) : Masyarakat
adalah kelompok manusia yang terbesar meliputi, pengelompokan – pengelompokan
manusia yang lebih kecil, yang mempunyai perhubungan yang erat dan teratur.
5) Hasan
Shadily :
Masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang dengan
atau sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh ebatinan satu
sama lain.
Masyarakat
itu timbul dari setiap kumpulan individu, yang telah lama hidup dan bekerjasama
dalam waktu yang cukup lama. Kelompok manusia yang belum terorganisasikan
mengalami prosessssss yang fundamental, yaitu :
a) Adaptasi
dan organisasi dari tingkah laku para anggota.
b) Timbul
perasaan berkelompok secara lambat laun.
Proses
ini biasanya tanpa disadari dan didikuti oleh semua anggota kelompok dalam
suasana trial dan error. Dari definisi tersebut
dapat kita lihat bahwa masyarakat mempunyai arti yang luas dan arti yang
sempit. Dalam arti luas masyarakat adalah keseluruhan hubungan – hubungan dalam
hidup bersama dan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan sebagainya. Dalam
arti sempit masyarakat adalah sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek –
aspek tertentu, misalnya territorial, bangsa, golongan dan sebagainya.
Definisi
– definisi diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa masyarakat harus mempunyai
syarat – syarat sebagai berikut :
a) Harus
ada pengumpulan manusia, dan harus banyak, bukan pengumpulan binatang ;
b) Telah
bertempat tinggal dalam waktu yang lama di suatu daerah tertentu;
c) Adanya
aturan – aturan atau undang – undang yang mengatur mereka untuk menuju kepada
kepentingan dan tujuan bersama.
Dipandang
dari cara terbentuknya, masyarakat dibagi dalam :
1) Masyarakat
paksaan, misalnya : Negara, masyarakat tawanan.
2) Masyarakat
merdeka, yang terbagi dalam :
a) Masyarakat
Natuur, yaitu masyarakat yang terjadi dengan sendirinya. Seperti Gerombolan, suku,
yang bertalian karena hubungan darah atau keturunan.
b) Masyarakat
Kultur, yaitu masyarakat yang terjadi karena kepentingan keduniaan atau
kepercayaan. Misalnya koperasi, kongsi perekonomian.
b. Masyarakat
Perkotaan
Masyarakat
perkotaan sering disebut juga dengan urban community. Pengertian masyarakat
perkotaan lebih ditekankan pada sifat – sifat kehidupannya yang berbeda dengan
masyarakat pedesaan.
Di
atas ikatan bahwa jumlah penduduk pada umumnya di kota sangat padat, di samping
itu juga heterogen. Hal ini disebabkan bahwa kota merupakan tempat penampungan
perpindahan penduduk dari berbagai tempat, baik pendatang yang resmi/tercatat
maupun pendatang liar/tidak tercatat.
Walaupun
jumlah penduduknya padat, hidup berdekatan satu dengan yang lain, tetapi
hubungan di antara mereka terjadi sepintas sekilas saja, kurang akrab dan
dingin. Hidup di antara tetangga yang sangat berdekatan, tetapi terasa sepi dan
hampa. Perasaan malu, enggan, gengsi dan takut menjiwai setiap anggotanya dalam
menjalin hubungan bertetangga. Semua tali hubungan dijalin secara ormal dan
kaku. Siat kerukunan dan gotong royong yang asli dan menjadi tradisi telah
menipis, yang diganti dengan sifat individualisme dan matrealistis.
Sifat gotong royong berusaha merea ganti
uang, sedang ia sendiri akan melakukan pekerjaan lain yang lebih menguntungkan.
Di dalam hidup bertetangga saling bersaing, yang diukur secara materi yang
dimilikinya. Maka dari itu hidup di kota sebenarnya kurang aman/tentram, di
samping individualistis dan kikir. Rasa suka atau duka harus dipikul sendiri
oleh oleh anggota masyarakat yang bersangkutan bersama keluarganya.
Perhatian
khusus masyarakat kota tidak terbatas pada aspek – aspek seperti pakaian,
makanan, dan perumahan, tetapi mempunyai perhatian lebih luas lagi. Hal ini
disebabkan oleh karena pandangan warga sekitarnya. Pada orang kota, makanan
yang dihidangan harus kelihatan mewah dan terhormat. Orang desa memandang
makanan sebagai alat memenuhi kebutuhasn biologis. Sedangkan orang kota,
makanan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan sosial. Demikian pula masalah
pakaian, orang kota memandang pakaian pun sebagai alat kebutuhan sosial. Bahkan
pakaian yang dipakai merupakan perwujudan kedudukan sosial si pemakai.
Ada
beberapa ciri – ciri yang menonjol pada masyarakat kota, antara lain:
1) Kehidupan
keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa. Cara
kehidupan mempunyai kecenderungan kea rah keduniawian.
2) Dapat
mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang – orang lain. Di
kota – kota kehidupan keluarga sering sukar untuk disatukan , sebab perbedaan
pendapat , kepentingan, paham politik dan perbedaan agama.
3) Pembagian
kerja diantara warga – warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas – batas
yang nyata. Misalnya dalam lingkungan mahasiswa mereka lebih senang bergaul
dengan sesamanya daripada dengan mahasiswa yang tingkatannya lebih tinggi atau
rendah.
4) Kemungkinan
– kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga
kota daripada warga desa. Di kota banyak jenis – jenis pekerjaan yang dapat
dikerjakan oleh warga – warga kota, mulai daripekerjaan yang sederhana sampai
pada yang bersifat teknologi.
5) Jalan
pikiran yang rasional pada umumnya dianut masyarakat perkotaan, menyebabkan
bahwa interaksi – interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada factor
kepentingan daripada faktor pribadi.
6) Jalan
kehidupan yang cepat di kota – kota, mengakibatan pentingnya factor waktu,
sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting , untuk dapat mengejar kebutuhan – kebutuhan seorang individu.
7) Perubahan
– perubahan sosial tampak dengan nyata di kota – kota, sebab kota – kota
biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.
c. Pembangunan
Masyarakat Perkotaan
Di
sadari bahwa ada banyak pendekatan yang digunakan untu melihat gejala – gejala
yang ada di perkotaan, seperti pendekatan geografis – demografis, ekonomis,
sosiologis, sosio – psikologis dan sebagainya. Pendekan geografis memandang
kota sebagai tempat konsentrasi sejumlah penduduk, sekalipun sulit untuk
menetapkan besarnya jumlah penduduk tersebut.
Pendekatan
ekonomis memandang kota sebagai titik pertemuan lalu lintas ekonomi, tempat
berpusatnya perdagangan, industri dan kegiatan non-agraris lainnya. Pendekatan
sosiologis sering membedakan masyarakat kota dari masyarakat desa dengan
menggunakan ukuran perbedaan jabatan, yaitu beranekanya jabatan – jabatan dalam
kota, sehingga menciptakan lapangan kerja yang lebih besar dibandingkan dengan
desa, ukuran heteroganitas kegiatan di mana kegiatan masyarakat kota bersifat
heterogen , sedangkan masyarakat desa bersifat homogen.
Pendekatan
sosio – psikologis lebih memusatkan perhatian pada sifat hubungan sesame
anggota masyarakat, di mana dinyatakan bahwa hubungan tersebut bagi masyarakat
kota bersifat rasional, impersonal dan tidak intim. Sedangkan bagi masyarakat
desa bersifat irrasional, personal dan intim.
Untuk
menunjang aktivitas warganya serta untuk memberikan suasana aman dan nyaman,
kota harus menyediakan berbagai fasilitas untuk mengatasi masalah yang timbul
sebagai akibat aktivitas warganya. Dengan kata lain kota harus berkembang.
Perkembangan
kota merupakan manifestasi dari pola kehidupan social, ekonomi, kebudayaan dan
politik. Kesemuanya itu akan dicerminkan dalam komponen – komponen yang
membentuk struktur kota tersebut. Secara umum dapat dikenal bahwa suatu
lingkungan perkotaan, seyogyanya mengandung 5 unsur meliputi :
a) Wisma : Bagian ruang kota yang
dipergunakan untuk tempat berlindung terhadap alam sekitarnya.
b) Karya : Syarat utama bagi eksistensi
suatu kota, karena unsure ini merupakan jaminan bagi kehidupan bermasyarakat.
c) Marga : Ruang perkotaan yang berfungsi
untuk menyelenggarakan hubungan antara suatu tempat dengan tempat tinggal
lainnya di dalam kota.
d) Suka : Ruang perkantoran untuk
memenuhi kebutuhan penduduk akan fasilitas – fasilitas.
e) Penyempurnaan:
Bagian penting bagi suatu kota, tetapi belum secara tepat tercakup ke dalam
empat unsur tersebut.
Kelima
unsur pokok ini merupakan pola pokok dari komponen – komponen perkpotaan yang
kuantitas dan kualitasnya kemudian di rinci di dalam perencanaan suatu kota
tertentu sesuai dengan tuntutan kebutuhan yang spesifik untuk kota tersebut
pada saat sekarang dan masa yang akan datang.
Kota secara internal ada hakikatnya merupakan
satu organisme, yakni kesatuan integral dan tiga komponen, meliputi “penduduk,
kegiatan usaha dan wadah”. Ketiganya saling berkait, pengaruh – mempengaruhi.
Oleh karenanya suatu pengenmbangan yang tidak seimbang antara ketiganya, akan
menimbulkan kondisi kota yang tidak positif. Antara lain menurunnya kualitas
hidup masyarakat kota. Dengan kata lain, suatu perkembangan kota harus mengarah
pada penyesuaian lingkungan isik ruang kota dengan perkembangan social dan
kegiatan usaha masyarakat desa.
Pemecahan
masalah – masalah tersebut, hendaknya di tuangkan dalam suatu kebijaksanaan
dasar yang dikaitkan dengan pengembangan wilayah dan interaksi kota secara
berimbang dan harmonis. Maka, fungsi dan tugas aparatur pemerintah kota harus
ditingkatkan:
1) Harus
dapat menangani berbagai masalah yang timbul d kota;
2) Kelancaran
dalam pelaksanaan pembangunan dan pengaturan tata kota harus dikerjakan dengan
tepat dan cepat, agar tidak disusul dengan masalah yang lainnya;
3) Masalah
keamanan kota harus dapat ditangani dengan baik sebab kalau tidak, maka
kegelisahan penduduk akan menimbulkan masalah baru;
4) Dalam
rangka pemekaran kota, harus ditingkatkan kerja sama yang baik, tetapi juga
dapat bermanfaat bagi wilayahnya.
Oleh
karena itu maka kebijaksanaan perencanaan dan pengembangan kota harus dapat
dilihat dalam kerangka pendekatan yang luas yaitu pendekatan regional. Rumusan
pengembangan kota seperti itu tergambar
dalam pendekatan penanganan masalah kota sebagai berikut :
1) Menekan
angka kelahiran;
2) Mengalihkan
pusat pembangunan pabrik ke pinggiran kota;
3) Membendung
urbanisasi;
4) Mendirikan
kota satelit di mana pembuaan usaha relatif rendah;
5) Meningkatan
fungsi dan peranan kota – kota kecil atau desa – desa yang telah ada di sekitar
kota besar;
6) Transmigrasi
bagi warga yang miskin dan tidak mempunyai pekerjaan.
Kota
mempunyai juga peran/fungsi eksternal yakni, seberapa jauh fungsi dan peran
kota tersebut dalam kerangka wilayah dan daerah – daerah yang dilingkupi dan
melingkupinya, baik dalam skala regional maupun nasional. Dengan pengertian ini
di harapkan bahwa suatu pengembangan kota tidak mengarah pada satu organ
tersendiri yang terpisah dengan daerah seitarnya, karena keduanya saling
pengaruh – mempengaruhi.
Dari
penetapan dua peran/ungsi dari suatu kota ini lebih lanjut diharapkan bahwa pengembangan
suatu kota akan mencapai dua sasaran tanpa harus saling mengalahkan, yakni
tercapainya kesejahteraan masyarakat kota serta masyarakat wilayah sekitarnya.
Yang sering kali menjadi penyebab masalah adalah bahwa kota – kota di Indonesia
selama ini berkembang tidak dalamkerangka arahan peran/fungsi eksternalnya,
sehingga justru merugikan daerah sekitarnya. Di mana hal ini akan menjadi satu
boomerang yang menurunkan kualitas kota tersebut.
2.
MASYARAKAT
PEDESAAN
a.
Pengertian
desa/pedasaan
Yang
dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartohadikusuma mengemukakan sebagai
berikut :
Desa
adalah suatu kesatuan hokum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat
pemerintahan sendiri.
Menurut
Bintarto : Desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, social ekonomi,
politik dan cultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan
pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.
Sedangkan
menurut Paul H. Landis : Desa adalah penduduknya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan
ciri – ciri sebagai berikut :
a) Mempunyai
pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribun jiwa.
b) Ada
pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan.
c) Cara
berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam
seperti : iklim, keadaan alam, kekayaan alam, keadaan alam, sedangkan pekerjaan
yang bukan agraris adalah bersifat sambilan.
Di
dalam undang – undang Nomor 5 Tahun 1979, tentang pemerintahan desa disebutkan
bahwa : Masyarakat desa adalah sejumlah penduduk yang merupakan kesatuan masyarakat
dan bertempat tinggal dalam suatu wilayah yang merupaan organisasi pemerintahan
terendah langsung di bawah Camat yang berhak menyelenggarakan urusan rumah
tangganya sendiri.
Dari
pengertian – pengertian tersebut dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa yang
disebut masyarakat desa adalah sekelompok manusia yang tinggal dalam suatu
tempat tercantum dengan sistem ketetanggaan dan gotong royong yang kuat., mata
pencahariannya agraris dan masih terikat kuat dengan tradisi yang melingkupi
serta memiliki tujuan tertentu. Mereka berhak mengatur dan menyelenggarakan
rumah tangganya/pemerintahannya sendiri, dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Menurut
Koentjaningrat, suatu masyarakat desa menjadi suatu persekutuan hidup dan
kesatuan social didasarkan atas dua macam prinsip :
a) Prinsip
hubungan kekerabatan (geneologis),
b) Prinsip
hubungan tinggal dekat/teritoral.
Prinsip
ini tidak lengkap apabila yang mengikat adanya aktivitas tidak diikutsertakan,
yaitu :
a) Tujuan
khusus yang ditentukan oleh factor ekologis,
b) Prinsip
yang dating dari “atas” oleh aturan undang
- undang.
Lingkungan
hubungan yang ditentukan oleh berbagai prinsip tersebut, hubungannya saling
terjaring, yang batas – batasnya berbeda ; mungkin dengan pola konsentris,
artinya hubungan tiap individu dimulai dengan lingkungan kecil mencakup kerabat
dan tetangga dekat atau dengan hubungan terjaring dengan pola terkupas, di mana
orang bergaul untuk suatu lapangan kehidupan dalam batas lingkungan social
tertentu.
Masyarakat
pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga
desa, yaitu setiap warga/anggota masyrakat yang amat kuat hakikatnya, bahwa
seseorang merasa bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di mana ia
hidup dicintainya serta mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap
waktu demi masyarakatnya. Mempunyai hak dan tanggung jawab bersama terhadap
keselamatan dan kebahagiaan bersama dalam masyarakat.
Adapun
yang menjadi ciri – ciri masyarakat pedesaan, antara lain sebagai berikut:
a)
Di dalam
masyarakat pedasaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih erat bila
dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas – batas
wilayahnya.
b)
System kehidupan
umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (Gemeinschaft atau paguyuban).
c) Sebagian
besar warga masyarakat pedesaan hidupa dari pertanian.
d) Masyarakat
tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, adat-istiadat dan
sebagainya.
Oleh karena anggota masyarakat mempunyai
kepentingan pokok yang hamper sama, maka mereka selalu bekerja sama untuk
mencapai kepentingan – kepentingan mereka. Bentuk – bentuk kerja sama dalam
masyarakat sering diistilahkan dengan gotong royong dan tolong menolong.
b. Hakikat
dan Sifat Masyarakat Pedesaan
Bahwa
masyarakat Indonesia lebih dari 80% tinggal di pedasaan dengan mata pencaharian
yang bersifat agraris. Masyarakat pedesaan yang agraris biasanya dipandang oleh
orang – orang kota sebagai masyarakat tentang damai, sehingga oleh orang kota
dianggap tempat untuk melepaskan lelah dari segala kesibukan, keramaian dan
keruwetan.
Maka
tidak jarang orang kota melepaskan kelelahan tersebut mereka pergi ke luar
kota, karena merupakan tempat yang adem ayem. Tetapi sebetulnya ketenangan
masyarakat pedesaan itu hanyalah terbawa oleh sifat masyarakat itu sendiri yang
di istilahkan dengan masyarakat
paguyuban. Anggapan orang – orang kota pedesaan adalah masyarakat yang tenang
dan damai penuh keharmonisan cocok untuk tempat pelepasan lelah itu tidak
benar, karena kenyataan dalam masyarakat pedesaan banyak terdapat ketegangan
social.
Adapun
penyebab ketegangan – ketegangan tersebut, yaitu :
a) Konflik
atau pertengkaran antara anggota – anggota warga masyarakat.
b) Kontraversi
atau pertentangan sikap antar warga.
c) Kompetisi
yang pada hakikatnya merupakan sifat bersaing dalam masyaraat pedesaan.
c. Pembangunan
Masyarakat Desa
Pembangun desa dan
pembangunan masyarakat desa telah menjadi dua istilah yang sering
dicampuradukkan pengertiannya, padahal keduanya memiliki pengertian yang sedikit
berbeda. Perbedaan kedua pengertian tersebut akn lebih nampak dalam pendapat
sebagai berikut :
a)
Pembangunan
masyarakat desa sebagai community Development yang mengandung maksud
pembangunan dengan pendekatan kemasyarakatan (community approach) dan
pengorganisasian masyarakat (community organization).
b)
Pembangun Desa
sebagai R ural Development menempati yang lebih luas, di mana pengertian
pembangunan masyarakat desa sudah tercakup di dalamnya, bahkan sekaligus
terintegrasi pula sebagai usaha Pemerintah dan Masyarakat yang meliputi
keseluruhan aspek kehidupan dan penghidupan.
Dari kedua pengertian di
atas dapat kita simpulkan bahwa pengertian pembangunan Desa lebih luas daripada
pengertian Pembangunan Masyarakat Desa. Di dalam Pembangunan Desa sudah
tercakup di dalamnya Pembangunan Masyarakat Desa. Komponen ini harus dibangun
secara utuh brsama – sama dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya.
Tujuan Pembangunan Desa
adalah identik dengan tujuan Pembangunan Nasional, yaitu pembangun manusia
Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa
pembangunan pedesaan bertujuan dan diarahkan untuk mewujudkan masyarakat adil
makmur materil spiritual berdasarkan Pancasila yang merdeka, bersatu dan
berdaulat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dan
dinamis.
Adapun secara lebih
rinci, tujuan Pembangunan Desa tersebut menurut Sudiharto Djiwandono, meliputi:
1)
Tujuan ekonomis,
yaitu meningkatkan produktivitas di daerah pedesaan, dalam rangaka mengurangi
kemisinan di daerah pedesaan;
2)
Tujuan sosial,
yaitu kearah pemerataan kesejahteraan penduduk desa;
3)
Tujuan cultural,
yaitu meningkatkan kualitas hidup pada umumnya dari masyarakat pedesaan;
4)
Tujuan politis,
yaitu menumbuhkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat desa secara maksimal
dalam menunjang usaha – usaha pembangunan serta dalam memanfaatkan dan
mengembangkan selanjutnya hasil – hasil pembangunan.
Demikian
pula halnya di dalam Pembangunan Desa. Peranan sumber daya manusia ini juga
sangat penting di dalam pembangunan desa. Hal ini erat kaitannya dengan tujuan
politis dari pembangunan desa iu sendiri, yaitu mengembangan partisipasi
masyarakat secara maksimal dalam menunjang usaha – usaha pembangunan serta
dalam memanfaatkan dan mengembangkan selanjutnya hasil – hasil pembangunan.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pentingnya sumber daya manusia ini adalah
dalam kaitannya dengan keikutsertaan (partisipasi) masyarakat dalam
pembangunan. Karena keikutsertaan masyarakat itu pada hakekatnya adalah tugas
dan kewajiban masyarakat.
d. Partisipasi
Masyarakat Desa dalam Pembangunan Desa
Partisipasi masyarakat
dalam pembangunan tidak berarti rakyat
memikul beban pembangunan dan tanggung jawab pelaksanaannya saja, tetapi juga
dalam menerima kembali dan memanfaatkan hasil – hasil pembangunan. Hal ini
menurut Sutomo adalah karena partisipasi
masyarakat dalam pembangunan itu menyangkut 2 aspek yaitu aspek hak dan aspek
kewajiban.
Partisipasi memang
selalu ditekankan. Hal ini adalah untuk menyadarkan rakyat agar mereka merasa memiliki
program – program pembangunan yang dilaksanakan. Sehingga hasil – hasil pembangunan
tidak hanya akan bermanfaat di masa sekarang saja, tetapi di masa yang akan
datang.
Di dalam partisipasi,
nilai – nilai kemanusiaan tetap dijunjung tinggi. Artinya, berpartisipasi tidak
hanya berarti menyumbangtenaga tanpa dibayar, tetapi partisipasi harus
diartikan yang lebih luas yaitu ikut serta. Hal ini sebenarnya adalah juga
untuk menghindarkan rakyat dari status sebagai sarana pembangunan atau sebagai
obyek pembangunan, tetapi menempatkan rakyat sebagai subyek atau pelaku
pembangunan.
Oleh karena itu Mubyarto
mengatakan bahwa partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa dibedakan
dalam tiga tahap yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan. Di
dalam tahap perencanaan, tidak semua warga desa ikut merencanakan, tetapi
biasanya diwakilin oleh mereka yang duduk dalam pemerintahan desa. Kepala desa
mempunyai hak yang sama untuk mengajukan usul atau rencana program pembangunan
desa, untuk emudian dibahas bersama – sama dalam rapat.
Di dalam tahap
pelaksanaan, masyarakat desa ikut terlibat dalam program pembangunan yang
sedang berjalan. Warga desa ikut melaksanakan atau mengerjakan program
pembangunan yang sedang berjalan. Sedangkan keterlibatan nonfisik dapat
diartikan keikutsertaan di dalam memberikan sumbangan baik berupa uang, bahan –
bahan bangunan, makanan untuk kelancaran program tersebut.
Di dalam tahap
pemanfaatan, arti partisipasi jadi sedikit menyimpang. Partisipasi disni lalu
di artikan siapa yang ikut memanfaatkan jasa pembangunan. Pengertian ini memang
terlalu luas nampaknya, karenahasil pembangunan itu bisa dinikmati bukan hanya
penduduk desa yang yang membangun, tetapi juga bisa dimanfaatkan oleh orang
luar desa yang bersangkutan.
Partisipasi masyarakat
desa dalam pembangunan desa merupakan salah satu pengertian yang arti
sesungguhnya lebih – lebih pengukurannya belum dicapai kata sepakat. Padahal
dalam masyarakat desa konsep partisipasi masyarakat lebih dimengerti sebagai
konsep social – politik. Sehingga keadaan ideal dalam keikutsertaan masyarakat
adalah di dalam tahap perencanaan. Karena hal ini menyangkut masa depan
masyarakat itu sendiri. Sehingga semakin besar kemampuan masyarakat desa untuk
menentukan nasib mereka sendiri, akan makin besar pula partisipasi masyarakat
dalam pembangunan.
3.
PERBEDAAN
MASYARAKAT DESA dan KOTA
Perbedaan
– perbedaan ini berasal dari adanya perbedaan yang mendasar dari keadaan
lingkungan, yang mengakibatkan adanya dampak terhadap personalitas dan segi –
segi kehidupan. Kesan populer masyarakat perkotaan terhadap masyarakat pedesaan
adalah bodh, lambat dalam berfikir dan bertindak, serta mudah “tertipu”. Kesan
ini disebabkan masyarakat perkotaan mengamatinya hanya sepintas, tidak banyak
tahu dan kurang pengalaman dengan keadaan lingkungan pedesaan.
Cirri
masyarakat desa juga mungkin belum tentu benar, sebab desa mengalami
perkembangan structural yang tersusun dan terarah ke peningkatan integrasi
masyarakat yang lebih luas sebagai akibat intensifnya hubungan kota dengan desa
dan derasnya program pembangunan, sehingga dapat menimbulkan perubahan – perubahan.
Masyarakat
pedesaan ditentukan oleh basis fisik dan sosialnya, seperti ada kolektivitas,
petani individu, tuan tanah, buruh tani dan lain – lain. Cirri lain bahwa desa
terbentuk erat dengan kaitannya dengan naluri alamiah untuk mempertahankan kelompoknya,
melalui kekerabatan tinggal bersama dalam memnuhi kebutuhannya.
Masyarakat
kota ditekankan dari pengertian kotanya dengan cirri dan sifat kehidupannya.
Dalam masyarakat kota kebutuhan primer dihubungkan dengan status social dan
gaya hidup masa kini sebagai manusia modern. Masyarakat pedesaan dan masyarakat
perkotaan masing – masing dapat diperlakukan sebagai system jaringan hubungan
yang kekal dan penting, serta dapat pula di bedakan masyarakat yang
bersangkutan dengan masyarakat yang lain.
Ada
beberapa ciri yang dapat digunakan untuk membedakan masyarakat desa dan kota.
Ciri – ciri tersebut antara lain :
1) Jumlah
dan Kepadatan Penduduk
Penduduk
desa kepadatannya lebih redah bila dibadingkan dengan kepadatan penduduk kota. Di
desa jumlah penduduknya sedikit, jarang ada bangunan rumah bertingkat.
Sedangkan, di kota kepadatan penduduknya besar, pola pembangunan perumahan
cenderung ke arah vertical (atas).
2) Lingkungan
Hidup
Lingkungan
hidup pedesaan berhubungan kuat dengan alam bebas, disebabkan oleh lokasi
geograinya di daerah desa. Mereka sulit mengontrol kenyataan alam yang
dihadapinya, padahal bagi petani realitas ala mini sangat vital dalam menunjang
kehidupannya. Penduduk yang tinggal di kota, yang kehidupannya bebas dari
realitas alam. Misalnya dalam bercocok tanamd an menuai harus pada waktunya,
sehingga ada kecendrungan nrimo. Lingkungan perkotaan bangunan – bangunan
menjulang tinggi. Udaranya terasa pengap, karena tercemar asap.
3) Mata
Pencaharian
Kegiatan
utama penduduk desa adalah agraris yang tergantung pada pengelolaan tanah untuk
keperluan pertanian dan peternakan. Sedangkan kota adalah industri yang menolah
bahan – bahan mentah menjadi bahan – bahan setengah jadi atau mengolahnya
hingga berwujud bahan jadi yang dapat segera dikonsumsikan.
4) Corak
Kehidupan Sosial
Homogenitas
atau persamaan dalam cirri – cirri social dan psikologi, bahasa, kepercayaan,
adat - istiadat dan perilaku sering
nampak pada masyarakat pedesaan bila dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Corak
kehidupan didesa masih homogen. Di kota sebaliknya, pendudunya heterogen,
karena di sana saling bertemu berbagai suku bangsa, agama, kelompok, kebudayaan
dan masing – masing memiliki kepentingan yang berbeda.
5) Stratifikasi
Sosial
Beranekaragamnya
corak kegiatan di bidang ekonomi berakibat bahwa sistem pelapisan soial
(stratifikasi sosial) di kota jauh lebih kompleks daripada di desa.
6) Mobilitas
Sosial
Mobilitas
social berkaitan dengan prpindahan atau pergerakan suatu kelompok social ke
kelompok social lainnya. Terjadinya peristiwa Mobilitas social disebabkan oleh
penduduk kota yang heterogen, terkonsentrasinya kelembagaan – kelembagaan,
saling tergantungnya organisasi – organisasi, dan tingginya diferensiasi
social. Mobilitas social di kota jauh lebih besar daripada di desa. Di kota, seseorang memiliki kesempatan untuk
mengalami mobilitas social, baik vertical yaitu perpindahan kedudukan yang
lebih tinggi atau yang lebih rendah.
7) Pola
Interaksi Sosial
Pola
interaksi sosial dalam masyarakat ditentukan oleh struktur social yang
bersangkutan. Sedangkan struktur social dapat dipengaruhi oleh lembaga –
lembaga social yang ada pada masyarakat tersebut. Pola interaksi social kedua masyarakat tersebut
tidak sama.
Perbedaan
yang penting dalam interaksi social di daerah perotaan dan pedesaan,
diantaranya :
1) Masyarakat
pedesaan lebih sedikit jumlahnya dan tingkat mobilitas sosialnya rendah, maka
kontak pribadi perindividu lebih sedikit.
2) Dalam
kontak social berbeda secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal yang lain pada
masyarakat pedesaan, daerah jangkauan kontak sosialnya biasanya terbatas dan
sempit. Di ota kontak sosialnya lebih tersebar pada daerah yang luas.
8) Solidaritas
Sosial
Konflik
atau pertentangan social sedapat mungkin dihindarkan jangan samapi terjadi.
Bahkan kalau terjadi konflik, di usahakan supaya konflik tersebut tidak terbuka
di hadapan umum. Bila terjadi pertentangan usahakan di rukunkan, karena prinsip
kerukunan inilah yang menjiwai hubungan social masyarakat pedesaan.
9) Kedudukan
dalam Hierarki Sistem Administrasi Nasional.
Dalam
hierarki sistem administrasi nasional kota memiliki kedudukan yang lebih tinggi
daripada desa. Semakin tinggi kedudukan suatu kota dalam hierarki tersebut,
kompleksitasnya semakin meningkat. Dalam arti semakin banyak kegiatan yang
berpusat di sana.
10) Pengawasan
Sosial
Tekanan
sosial masyarakat di pedesaan lebih kuat karena kontaknya yang bersifat pribadi
dan ramah – tamah dan keadaan masyarakatnya yang homogen. Di ota pengawasan
sosialnya lebih bersifat formal, pribadi, kurang terkena aturan yang ditegakkan
dan peraturan lebih menyangkut masalah pelanggaran.
11) Pola
Kepemimpinan
Menentukan
kepemimpinan di daerah pedesaan cenderung banyak ditentukan oleh kualitas
pribadi dari individu dibandingkan dengan di kota. Keadaan inin disebabkan oleh
lebih luasnya kontak tatap muka dan individu lebih banyak saling mengetahui
daripada di daerah kota.
12) Standar
Kehidupan
Berbagai
alat yang menyenagkan dan fasilitas lain aan membahagiakan kehidupan bila
disediakan dan cukup nyata dirasakan oleh penduduk yang jumlahnya padat. Di
kota, dengan konsentrasi dan jumlah penduduknya yang padat, tersedia dan ada
kesanggupan dalam menyediakan kebutuhan tersebut. Orientasi hidup dan pola
pikir masyarakat desa yang sederhana dan standart hidup kurang mendapat
perhatian.
13) Kesetiakawanan
Sosial
Pada
masyarakat pedesaan kepaduan dan kesatuan merupakan akibat dari sifat – sifat
yang sama, persamaan dalam pengalaman, dan tujuan yang sama. Kesatuan dan
kepaduan di daerah perekotaan berbeda. Dasranya justru ketidaksamaan dan
perbedaan pembagian tenaga kerja, saling tergantung, spesialisasi dan tidak
bersifat pribadi.
14) Nilai dan Sistem Nilai
Pada
masyarakat pedesaan nilai – nilai keluarga, dalam masalah pola bergaul dan
mencari jodoh kepala keluarga masih berperan. Bentuk – bentuk ritual agama yang
berhubungan dengan kehidupan atau proses mencapai dewasanya manusia selalu
diikuti dengan upacara – upacara. Nilai
– nilai agama masih dipegang kuat dalam bentuk pendidikan agama (madrasah).
Dalam hal ini masyarakat kota bertentangan atau tidak sepenuhnya sama dengan
system nilai di desa.
Selain
ciri – ciri tersebut di atas, maka perbedaan masyarakat desa dengan masyarakat
kota secara tegas dibedakan oleh Bintarto dengan ciri – ciri sebagai
berikut ;
Unsur
– unsur untuk pembedaan
|
Desa
|
Kota
|
1.
Mata
pencaharian
2.
Ruang kerja
3.
Musim/cuaca
4.
Keahlian/ketrampilan
5.
Rumah dan
tempat kerja
6.
Kepadatan
penduduk
7.
Kontak social
8.
Lembaga –
lembaga
9.
Stratifikasi social
10.
Kontrol social
11.
Sifat kelompok
12.
Mobilitas
13.
Status sosial
|
Agraris
homogen
Lapangan
terbuka
Penting
dan menentukan
Umum
dan tersebar
Dekat
Tidak
padat
Frekuensi
kecil
Terbatas
dan sederhana
Sederhana
dn sedikit
Adat/tradisi
Gotong
royong akrab
Rendah
Stabil
|
Non
agraris heterogen
Ruang
tertutup
Tidak
menentukan
Ada
spealisasi
Berjauhan
Padat
Frekuensi
besar
Banyak
dan kompleks
Kompleks
dan banyak
Hukum
peraturan tertulis
Gesellchaft
Tinggi
Tidak
stabil
|
4.
HUBUNGAN
MASYARAKAT DESA – KOTA, HUBUNGAN PEDESAAN - PERKOTAAN
Menurut
system penggolongan administrasi “kota” dapat dikatakan sebagai “pendominasian”
yang secara bertingkan diturunkan ke bawah, melalui system administrasi Negara.
Melihat kenyataan ini jelas bahwa kota kedudukannya di atas, sedangkan desa ada
di bawah. Perkembangan peradaban biasanya diidentiikasi dengan perkembangan
kota – ota besar dan petani di desa sebagai pencocok tanam yang mempunyai
hubungan tetap di kota.
Desa
pun tidak jarang dikunjungi secara berkala oleh penziarah kota, apabila desa
itu terdapat tokoh agama termasyhur. Tetapi, yang jelas kehadiran unsure kota
ke desa aan mempengaruhi pola suatu masyarakat. Bahkan adanya masyarakat
pedesaaan sangat penting artinya bagi proses pertumbuhan kota – kota.
Masyarakat pedesaan dapat dipahami apabila dihubungkan dengan ketrpaduan
menyeluruh yang lebih besar, yaitu perkotaan . kategori masyarakat desa timbul
bila sudah trintgrasi menjadi bawahan penguasa dari luar sistem sosialnya.
Hubungan masyarakat desa dan kota merupakan hubungan pariferal.
Masyarakat
pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu
sama lain. Keduanya terdapat hubungan yang sangat erat, bersifat ketergantungan
karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada desa dalam
memnuhi kebutuhan akan pangan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi
jenis – jenis pekerjaan tertentu di kota, misalnya buruh bangunan dalam proyek
– proyek perumahan, proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan
dan tukang becak
Dengan
adanya hubungan kota dengan desa akan menimbulkan adanya interaksi di antara
keduanya. Interaksi tersebut dapat dilihat sebagai suatu proses social, proses
ekonomi, proses budaya dan proses politik yang cepat atau lambat akan
menimbulkan kenyataan atau realitas. Sebaliknya, kota menghasilkan barang –
barang yang juga di perlukan oleh orang desa. Kota juga menyediakan tenaga –
tenaga yang melayani bidang – bidang jasa yang di butuhkan oleh orang desa
tetapi tidak dapat dilakukannya sendiri.
Dalam
kenyataannya hal ideal tersebut kadang – kadang tidak terwujud karena adanya
beberapa pembatas. Jumlah penduduk semakin meningkat,. Padahal luas tanah
pertanian sulit bertambah. Peningkatan hasil pertanian hanya dapat di usahakan
melalui intensifikasi budi daya di bidang ini. Tetapi, hasil pangan tidak
sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk, sehingga suatu saat hasil
pertanian suatu daerah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduknya saja.
Di
atas disebutkan bahwa kota dan desa saling membutuhkan, melengkapi, tetapi banyak
bagioan pedesaan di Indonesia tidak mempunyai keseimbangan ekonomi tersebut
akibatnya kurangnya tanah garapan di pedesaan. Desa tidak mempunyai kelebihan
bahan pangan dan bahan mentah yang cukup untuk di kirim ke kota, sehingga kota
tidak tergantung pada desa di daerah sekitarnya. Kota tergantung dari tempat –
tempat lain yang mempunyai hubungan ekonomi. Demikian juga desa kurang mampu
mengkonsumsi bidang hasil industri kota akibat kekurangan uang yang masuk ke
desa.
Antara
kota dan desa pada umumnya kelihatan ada perbedaan social dan kebudayaan yang
besar. Bagi orang desa, kota itu dianggap berbahaya, harus waspada, banyak
pengetahuan dan muslihatnya. Dan segi akhlak juga berbahaya dan bersamaan
dengan itu, mempunyai daya tarik juga. Kota adalah pusat kekuasaan, ekayaan,
dan sekaligus pengetahuan. Sebaliknya desa, menurut pikiran orang – orang kota
juga bermacam – macam. Dikatakan bodoh, kurang pengetahuan, membiarkan dirinya
di salahgunakan. Tetapi desa juga memiliki kelebihan, yaitu kebudayaan asli dan
menghayati kehidupan yang baik dan sederhana.
Tidak
dapat disangkal bahwa hubungan antara desa dan kota selalu ada, terutama dalam
suplay tenaga kerja kasar. Kota yang sedang membangun banyak menyedot tenaga
dari pedesaan yang memang kelebihan tenaga kerja untuk pekerjaan yang tidak
banyak menuntut keterampilan. Bahkan seringkali banyak orang desa yang harus
pergi dari desanya ke kota karena didorong oleh keadaan desanya yang tidak
member jaminan hidup.
Perubahan
yang terjadi merupakan tantangan yang harus wajib dan diselesaikan oleh pemerintah kota
beserta aparatnya. Tetapi di lain pihak, di daerah pedesaan juga telah terjadi
perubahan – perubahan. Sector pertanian yang sebagian besar masih bersiat
tradisional, kemampuannya dalam mengabsorbir tenaga kerja sangat terbatas.
Pertambahan penduduk di daerah pedesaan sendiri telah memberikan akibat
ketidakseimbangan antara tanah garapan dengan jumlah petani penggarapnya.
Lingkup permasalahan ini menjadi lebih sulit bagi berkenaan dengan adanya
kenyataan yang berupa perubahan social lainnya.
DATAR
PUSTAKA
1. Koentjaraningrat,
Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, hal.
155-216
2. Suryadi,
Da’wah Islam dengan Pembangunan Masyarakat Desa, Penerbit Alumni, Bandung,
1983, hal. 25
3. Boedhi
Santoso, “Masyarakat pedesaan dan perkotaan”, Lokakarya Penyusunan
Kumpulan Minimal Peragaan Mata Kuliah Ilmu Sosial Dasar, Malang, 1985
4. Koentjaraningrat,
Masyarakat Desa Masa Kini, Yayasan Badan , Penerbit Fakultas Ekonomi
Indonesia, Jakarta, 1969
5. Parsudi
Suparlan, “Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan”, Bahan
Penataran Dosen – Dosen, Tawangmangu, Solo, 1981
6. Sulaeman,
M, Munandar, Ilmu Sosial Dasar, Eresco, Bandung, 1993
7. Daldjoeni,
N dan A. Suyitno. Pedesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Bandung: Alumni,
1982
8. Mubyarto.
Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Sinar Harapan, 1983
9. Hagul,
Peter (ed)., 1985. Pembangunan Desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat,
Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.
10. Suparlan,
Parsudi, Masyarakat Perkotaan dan Masyarakat Pedesaan, Bahan Penataran
Ilmu Sosial Dasar se Indonesia Timur 1-13 Agustus 1981, Tawangmangu, Solo.
11. Gunawan
Wiradi, ”Kuli Kenceng di Pedesaan Jawa”, harian Kompas, 25 Maret 1983.
12. Hadi
Prayitno, 1985, Kemiskinan Pedesaan di Indonesia, Brawijaya University
Press, Malang, Cetakan I, Khusus: Kemiskinan Pedesaan (1) dan (2).
13. Mubyarto.
Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan”. Jakarta:Sinar Harapan,
1983.
14. Suparlan,
Parsudi. (Penyunting). “Kemiskinan di Perkotaan”. Jakarta: Sinar
Harapan, 1984.
Soedjito, Bambang Bintoro.
“Sistem Kota – Kota : Suatu Pendekatan Pengembangan Wilayah Pulau
Jawa”. Prisma, Juni 1975
No comments:
Post a Comment