KHIYAR DALAM JUAL BELI
Nama : Emy Nur
Indah Sari
NIM :
201105090035
Mata Kuliah : Fiqh Muamalah
Makna Khiyar
berarti boleh memilih antara dua, apakah akan meneruskan jual beli atau mau
membatalkannya.[1]
Menurut ulama fikih yang dikutip oleh Rachmat Syai’i, pengertian khiyar adalah:
“Suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya
(menjadikan atau membatalkannya) jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat,
aib, atau ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar
ta’yin”.[2]
Di adakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli
dapat memikirkan kemaslahatan masing – masing lebih jauh, supaya tidak akan
terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.
Fungsi khiyar menurut Syara’ adalah agar kedua orang yang berjual
beli dapat memikirkan dampak positif negative masing – masing dengan pandangan
ke depan, supaya tidak terjadi penyesalan dikemudian hari yang disebabkan
merasa tertipu atau tidak adanya kecocokan dalam membeli barang yang telah
dipilih.
Khiyar terbagi
menjadi tiga, yaitu khiyar majlis, khiyar syarat dan khiyar ‘aib, berikut ini
uraiannya.
1.
Khiyar Majlis
Khiyar Majlis, artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan
jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat. Khiyar
Majlis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli, Rasulullah saw. Bersabda:
اَلْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِمَالَمْ يَتَفَرَّقَا ( رواه البخارومسلم )
“ Penjual dan pembeli boleh khiyar (akan meneruskan jual beli
mereka atau tidak) selama belum berpisah.“ (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Bila keduanya telah berpisah dari
tempat akad tersebut, maka Khiyar Majlis tidak berlaku lagi. Menurut
ulama fikih, Khiyar Majlis adalah : “Hak bagi semua pihak yang melakukan
akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat akad dan kedua belah
pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam
akad.”[3]
Khiyar Majlis
ini dikenal di kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Berkenaan dengan Khiyar
Majlis, pendapat para ulama terbagi atas dua bagian, sebagai berikut :
a.
Ulama
Hanafiyah dan Malikiyah
Golongan ini berpendapat bahwa akad dapat menjadi lazim dengan
adanya ijab dan Kabul, serta tidak bias hanya dengan Khiyar, sebab Allah
swt, menyuruh untuk menepati janji. Selain itu, suatu akad tidak akan sempurna,
kecuali dengan adanya keridaan. Sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an (QS. An –
Nisa:29) yang artinya:”….. kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kamu….”. Sedangkan keridaan hanya dapat
diketahui dengan ijab dan Kabul.
Dengan demikian, keberadaan akad tidak dapat digantungkan atas Khiyar
Majlis. Golongan ini tidak mengambil hadis – hadis yang berkenaan dengan Khiyar
Majlis, sebab mereka tidak mengakuinya. Selain itu, adanya keumuman tentang
ayat di atas.
b.
Ulama
Syafi’iyah dan Hanabilah
Berpendapat adanya Khiyar Majlis. Kedua golongan ini
berpendapat bahwa jika pihak yang akad menyatakan ijab dan Kabul, akad tersebut
masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih berada di
tempat tersebut dan belum terpisah badannya. Keduanya masih memiliki kesempatan
untuk membatalkan, menjadikan atau saling berfikir. Adapun batasan dari kata
berpisah diserahkan kepada adat atau kebiasaan manusia yang bermuamalah. [4]
Habislah Khiyar Majlis apabila:
1)
Keduanya
memilih akan meneruskan akad. Jika salah seorang dari keduanya memilih akan
meneruskan akad, habislah Khiyar dari pihaknya, tetapi hak yang lain
masih tetap.
2)
Keduanya
terpisah dari tempat jual beli. Arti berpisah ialah menurut kebiasaan. Apabila
kebiasaan telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah, tetaplah jual
beli antar keduanya. Kalau kebiasaan mengatakan belum berpisah, masih
terbukalah pintu Khiyar antara keduanya. Kalau keduanya berselisih
umpamanya seorang mengatakan sudah berpisah, sedangkan yang lain mengatakan
belum yang mengatakan belum hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang
asal belum berpisah.
2.
Khiyar Syarat
Khiyar Syarat yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu, baik oleh
penjual maupun pembeli. Artinya khiyar itu boleh dijadikan syarat
sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, Seperti seseorang berkata,”
Saya jual rumah ini dengan harga Rp.100.000.000,00. Dengan syarat khiyar selama
tiga hari.”[5]
Rasulullah saw, bersabda :
أَنْتَ
بِالْخِيَارِ فِى كُلِّ سِلْعَة اَبْتَعْتَهَا ثَلاَ ثَ لَيَالَ (رؤاه البيهقى)
“ Kamu boleh berhiyar pada setiap yang telah dibeli selama tiga
hari tiga malam.” (Riwayat
Baihaqi)
Pengertian
Khiyar syarat menurut ulama fikih adalah: “ Suatu keadaan yang membolehkan
seseorang yang berakad atau masing – masing yang berakad atau selain kedua
pihak yang berakad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama
waktu yang ditentukan.”[6]
Misalnya,
seorang pembeli brkata: ”Saya beli dari Anda barang ini, dengan catatan saya
ber-khiyar (pilih – pilih) selama sehari atau tiga hari.”
Barang yang
terjual itu sewaktu dalam masa Khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan Khiyar,
kalau yang Khiyar hanya salah seorang dari mereka. Tetapi kalau
keduanya - duanya mensayaratkan Khiyar,
maka barang itu tidak tidak dipunyai oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual
beli sudah tetap akan diteruskan, barulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan
pembeli mulai dari masa akad. Tetapi kalau jual beli tidak dituruskan, barang
itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk meneruskan jual beli atau tidaknya,
hendaklah dengan lafaz yang jelas menunjukkan terus atau tidaknyaa jual beli.
3.
Khiyar ‘Aib (cacat)
a.
Arti
dan landasan Khiyar ‘Aib
Artinya si
pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu
terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi
harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik. Dan sewaktu akad
cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu, atau terjadi sesudah
akad, yaitu sebelum di terimanya.
Menurut ulama
fikih adalah: “Keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad memiliki
hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecacatan)
dari salah satu yang dijadikan alat tukar menukar yang tidak diketahui
pemiliknya waktu akad.”[7]
Dengan
demikian, penyebab Khiyar ‘Aib adalah adanya cacat pada barang yang
dijualbelikan (ma’qud ‘alaih) atau harga (tsaman), karena kurang
nilainya atau tidak sesuai dengan maksud, atau orang yamg akad tidak meeliti
kecacatannya ketika akad berlangsung.
b.
Aib mengharuskan
khiyar
Ulama hanafiyah
dan hanbaliah berpendapat, bahwa ‘Aib pada Khiyar adalah segala
sesuatu yang menunjukkan adanya kekurangan dari aslinya. Misalnya, berkurang
nilainya menurut adat, baik berkurang sedikit atau banyak.
Menurut ulama
Syafi’iyah, Khiyar adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang
nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud,
seperti sempitnya sepatu, potongannya tidak sesuai, atau adanya cacat pada bina
yang henda dipotong.
c.
Syarat
tetapnya Khiyar
Disyaratkan
untuk tetapnya Khiyar ‘Aib setelah diadakan penelitian yang menunjukkan
hal – hal berikut ini :
1)
Adanya
‘aib setelah akad atau sebelum diserahkan, yakni ‘aib tersebut
telah lama ada. Jika adanya setelah penyerahan atau ketika berada di tangan
pembeli, ‘aib tersebut tidak tetap.
2)
Pembeli
tidak mengetahui adanya cacat ketika akad berlangsung dan penerimaan barang.
Sebaliknya, jika pembeli sudah mengetahui adanya cacat ketika menerima barang,
maka tidak ada khiyar, sebab ia dianggap telah ridha’.
3)
Pemilik
barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat. Dengan
demikian, jika penjual mensyaratkannya, gugurlah hak khiyar. Jika
pembeli membebaskannya, gugurlah hak dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat
ulama Hanafiyah.
Ulama
Syai’iyah, Malikiyah serta salah satu riwayat dari Hanabillah berpendapat,
bahwa seorang penjual tidak sah minta dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan
‘aib, apabila aib tersebut sudah diketahui oleh keduanya, kecuali
jika ‘aib tidak diketahui oleh pembeli, maka boleh complain kepada
penjual.
Daftar
Pustaka
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Karim, Helmi, Fiqh Muamalat, Rajawali Press, Jakarta, 2002.
Rasjid, H.Sulaiman, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, 1994.
Ya’qub, Hamzah, Kode Etik Dagang menurut Islam, Diponegoro,
Bandung, 1984.
No comments:
Post a Comment