BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan
masa di saat ini membuat kita tidak dapat melepaskan hukum hukum yang
ditentukan oleh kitab Allah. Dalam hal ini tentunya suatu keharusan yang
dilaksanakan oleh umat islam dalam menjalankan perintah yang ditentukan oleh Allah.
Saya akan mendiskusikan tentang Hukum syara, yang melingkupi Pengertian hukum
syara’, pembagian hukum syara’, Pembuat hukum (hakim), objek Hukum dan subjek
hukum. Banyak sekali cabang dan pembagian-pembagian dari hukum syara’ tersebut
terutama pembagian pada hukum syara’ sendiri yang memiliki dua bagian yaitu
hukum taklifi dan hukum wadh’i. Tidak hanya itu saja, tetapi kedua hukum itu
memuat beberapa bagian yang sangat terinci. Hukum taklifi di dalamnya terdapat,
wajib, sunat, haram, makruh dan mubah. Sedangkan dalam hukum wadhi didalamnya terdapat sabab, syarat,
mani, rukhsah dan azhimah dan sah, batal. Begitu banyak konsep dan teori dari beberapa istilah yang diungkapkan
oleh para ulama sehingga saya hanya mengambil beberapa pendapat para ulama. Tentunya
yang telah menjadi kesepakatan dalam memandang
sebuah hukum.
Adanya perbedaan pendapat dalam pengertian
hukum syara’antara ahli ushul fiqih dengan ahli fiqh tidak membuat kita bingung
untuk menentukan suatu perbuatan yang dihukumi semestinya. Sebelumnya saya akan
membahas pengertian hukum syara’. Ahli ushul
memandang tentang pengetahuan kitab Allah yang menyangkut perbuatan manusia
itulah definisi hukum syara’. Mereka melihat dari sisi fungsinya adalah
menegeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi nash syara’yang harus
dirumuskan menjadi hukum yang terinci secara detail. Karenanya ia mengaggap
hukum itu sebagai kitab Allah yang mengandung aturan tingkah laku tahu
perbuatan.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Pengertian Hukum Syara’
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut:
خِطَا بُ اللهِ الْمُتَعَلِّقٌ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ
اِقْتِضَاءًاَوْتَخْيِيْرًااَوْوضْعًا
Artinya:
“Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal
sehat, baik bersifat imeratif, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai
sebab, syarat dan penghalang.
Yang
fimaksud khitab Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk
dalil, baik Al-Qur’an, As-Sunnah maupun lainnya, seperti Ijma’ dan Qiyas.
Yang dimaksud dengan menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang
dilakukan oleh orang dewasa yang beraal sehat meliputi perbuatan hati, seperti
niat dan perbuatan ucapan, seperti gibah (menggunjing) dan namimah
(mengadu-domba).
Yang
dimaksud dengan imperatif (iqtidha) adalah tuntutan untuk melakukan
sesuatu, yakni memerintah atau tuntutan untuk meninggalkan yakni melarang, baik
tuntutan itu berfisat memaksa maupun tidak. Sedangkan yang dimaksud tahyir
(fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau
meninggalkannya dengan posisi yang sama.
Dan
yang dimaksud Wadh’i (mendudukan sesuatu)adalah memposisikan sesuatu
sebagai penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat maupun penghalang. Definisi
hukum tersebut merupakan definisi hukum sebagai kaidah yakni patokan perilaku
manusia. Al Qur’an dan Sunnah membicarakan berbagai topik seperti, kisah
bangsa-bangsa terdahulu, hari pembalasan, dan yang lainnya. Tidak hanya itu,
ada banyak nash yang membicarakan secara khusus mengenai
perbuatan kita apakah harus dikerjakan atau terlarang, bagian ini dijadikan
rujukan hukum Syara’.
Istilah
hukum Syara’ dalam bahasa Arab maksudnya adalah seruan Pembuat Hukum (asy
Syari’) berkenaan dengan perbuatan kita. Islam membahas semua perbuatan
kita apakah boleh atau tidak. Setiap perbuatan kita harus mengikuti hukum
Syara’.
Hukum menurut bahasa ialah menetapkan sesuatu
atas yang lain. Menurut syara’ ialah firman pembuat syara’ (syar’i) yang
berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf), firman mana yang
mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai tanda
adanya orang lain. Pengertian hukum menurut ushul fiqih yang dikatakan hukum
ialah firman (nas) dari pembuat syara’ itu sendiri, baik firman Tuhan atau
sabda Nabi.
II.
Pembagian hukum syara’
Adapun pembagian hukum syara’ yang
nantinya akan membawa pada satu rumusan hukum secara rinci dalam menghukumi
suatu tindakan mukallaf yang melaksanakan ibadah pada Allah.secara garis besar
sebagian besar para ahli fiqh membagi dua bagian dalam hukum
syara’.Pertama hukum taklifi
dan hukum Wadh’i.
a.
Hukum Taklifi
Ialah firman Allah atau sabda Nabi
Muhammad SAW yang mengandung tuntutan baik perintah atau larangan. Dengan
ungkapan lain hukum taklifi ialah menuntut perbuatan, mencegah atau membolehkan
memilih antara berbuat atau meninggalkan.
1)
Contoh
firman Allah SWT. yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan :
وَاَقِيْمُواالصَّلوةٍَوَاَتُواالزَّكَوةَوَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ
لَعَلَّ كُمْ تُرْحَمُوْنَ
Artinya:
“Dan
dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi
rahmat”. (Qs. An-Nur :56 )
Hukum Taklifi yaitu hukum yang menjelaskan tentang perintah
larangan,dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya.
2)
Contoh
hukum yang menunjukkan perintah adalah membayar zakat dan menunaikan ibadah
haji ke baitullah. sedangkan hukum yang menunjukkan larangan seperti memakan
harta benda anak yatim
وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُو
Artinya:
”Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan janganlah kamu tergesa gesa membelanjakannya sebelum mereka
dewasa. (Q.s.al-anam:152)
3)
Contoh
firman Allah SWT. yang bersifat menuntut untuk meninggalkan perbuatan:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ ...
Artinya:
”Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan
jalan yang bathil (Q.s al-baqarah:188).
Contoh
firman Allah SWT. yang bersifat memilih (Fakultatif):
وَكُلُوْاوَاشْرَبُوْاحَتّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الاَبْيَضُ
مِنَ الْخَيْطِ الاَسْوَدِمِنَ الْفَخْرِ
Artinya:
“Dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar”. (Qs. Al-Baqarah : 187)
Jadi,
secara jelas hukum taklifi ini berbentuk pilihan atau tuntutan dari segi apa
yang dituntut, dan hukum ini terbagi dua tuntutan yaitu tuntutan secara pasti
dan tuntutan tidak pasti. Adapun pilihan terletak antara memperkuat dan
meninggalkan. Hukum taklifi juga berarti ketentuan Allah perintah, larangan dan
takhyir (pilihan). Dengan demikian Hukum taklifi sendiri terbagi menjadi
lima, yaitu wajib, madub (sunat), Haram, makruh dan Mubah (abu zahrah, 2011:30).
Adapun madzhab hanafi membagi hukum taklifi ini menjadi tujuh yaitu, fardhu, wajib,
mandub (sunat), Makruh tahrim, makruh Tanzih, haram dan mubah.
Sebagai
akibat dari bermacam-macam isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah
dan sabda Nabi Muhammad SAW maka perbuatan mukallaf yang dikenai hukum ada lima
yaitu:
1.
Wajib
Perbuatan wajib yaitu sesuatu yang diberi pahala jika dikerjakan,
diberi siksa bila ditinggalkan. Wajib dibagi menjadi berikut:
a.
Dilihat
dari tentu tidaknya perbuatan yang diminta
1)
Wajib
Mu’ayyan yaitu yang telah ditentukan macam perbuatan seperti membaca surat
Al-Fathihah dalam shalat.
2)
Wajib
Mukhayyar yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa macam yang telah
ditentukan.
b.
Dilihat
dari segi waktu untuk mengerjakannya
1)
Wajib
Mudhayyaq (yang disempitkan) atau mi’yar. Yakni waktu untuk melakukan kewajiban
sama dengan banyaknya waktu yang dibutuhkan.
2)
Wajib
Muwassa’ (yang diluaskan waktunya) atau dzarf. Waktunya lebih banyak dari waktu
yang dibutuhkan untuk melaksanakan kewajiban, seperti waktu sholat lima waktu.
Dalam kewajiban muwassa’ pekerjaan tersebut boleh dikerjakan disembarang waktu
dalam batas watu yang telah ditentukan.
c.
Dilihat
dari segi siapa yang harus memperbuatnya
1)
Wajib
‘aini yaitu perbuatan yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang mukallaf.
2)
Wajib
kifayah yaitu perbuatan yang harus diwujudkan oleh salah seorang anggota masyarakat tanpa melihat siapa yang
mengerjakannya. Apabila diperbuat telah hilang tuntutan terhadap lainnya.
Tetapi bila tidak, maka semuanya berdosa.
d.
Dilihat
dari segi qadarnya (kualitas)
1)
Wajib
muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukan syara’ batas qadarnya seperti sholat
fardhu. Kewajiban ini kalau tidak dikerjakan pada waktunya, maka mnjadi
tanggungan kita selamanya., sampai kita menunaikannya.
2)
Wajib
ghairu muhaddad yaitu kewajiban yang tidak detentukan syara’ batas qadarnya.
2.
Mandub
(sunat)
Suatu perbuatan yang yang bila
diperbuat mendapat pahala, tetapi bila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Sunat
dibagi menjadi dua :
a.
Sunat
‘aini ialah perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap orang,
seperti shalat sunat rawatib.
b.
Sunat
kifayah ialah perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat, cukup oleh salah
seorang dari suatu golongan, seperti memberikan salam.
c.
Sunat
mu’akkad ialah perbuatan yang tetap dikerjaan Rasul atau lebih banyak
dikerjakan daripada tidak, seperti shalat ID
d.
Sunat
ghairu mu’akkad ialah perbuatan yang tidak selalu dikerjakan oleh Rasul.
3.
Haram
Suatu perbuatan yang dilarang, boleh
ditinggalkan akan diberi pahala dan apabila diperbuat dikenakan siksa. Seperti
membunuh, mencuri, tidak memeberi makan orang yang sudah menjadi tanggungannya.
Larangan dibagi menjadi dua:
a.
Larangan
karena perbuatan itu sendiri (haram li dzatihi)
Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan syar’i
tentang keharamannya. Misalnya, memakan bangkai, berjudi.
b.
Larangan
karena bertalian dengan perbuatan lain (Haram li ghairih)
Yaitu sesuatu yang pada mulanya disyariatkan, tetapi dibarengi oleh
sesuatu yang bersifat mudarat bagi manusi, maka keharamannya adalah disebabkan
adanya mudarat tersebut. Misalnya, seperti larangan jual beli setelah ada adzan
jum’at. Jual beli sendiri tidak dilarang, akan tetapi karena dilakukan dalam
waktu tersebut maka dilarang.
4.
Makruh
Suatu perbuatan yang terlarang, bila ditinggalkan aan diberi pahala
tetapi bila diperbuat tidak dikenakan siksa. Makruh dibagi menjadi tiga:
a.
Makruh
Tanzih yaitu suatu perbuatan yang dirasa meninggalkannya lebih baik daripada
memperbuatnya
b.
Tarkul-Awla
yaitu meninggalkan yang lebih utama
c.
Makruh
Tahrim yaitu suatu perbuatan yang dilarang tetapi dalilnya tidak pasti
5.
Mubah
Suatu perbuatan yang bila diperbuat
tidak diberi pahala dan bila ditinggalkan tidak dikenakan siksa. Mubah
dinamakan halal dan jaiz. Pembagian mubah :
a.
Yang
dinyatakan syara’ boleh memilih seperti kalau suka boleh memperbuat, kalau
tidak suka boleh meninggalkannya
b.
Yang
tidak ada dalilnya dari syara’ yang dinyatakan boleh memilih tetapi syara’
menyatakan tidak ada halangan (dosa) untuk memperbuatnya
c.
Yang
tidak ada keterangan sesuatu apa dari syara’. Hukumnya dikembalikan kepada
baraah asliyah, yakni tidak ada hukumannya.
b.
Hukum
Wad’i
Hukum wadh’i adalah
firman Allah SWT. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat
atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas
kaitan sesuatu dengan hukum taklifi,
baik bersifat sebagai sebab, atau syara’, atau penghalang maka ia disebut hukum
wad’i. didalam ilmu hukum ia disebut
pertimbangan hukum.
1)
Contoh
firman Allah SWT. yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain:
اَقِمِ الصَّلوةَلِدُكِ الشَّمْسِ............
Artinya: “Dirikanlah sholat sesudah matahari tergelincir”.
(Qs. Al-Isra : 78)
2)
Contoh
firman Allah SWT. yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
وَابْتَلُواالْيَتَامى حَتّىاِذَابَلَخُواالنِّكَاحَ.............
Artinya:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin
(dewasa).” (Qs. An-Nisa :6)
Contoh khitab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang:
لَيْسَ لِلْقَا تِلِ مِيْرَاثٌ
Artinya:
“Pembunuh tidak mendapat waris.”
Dari pengertian wadh’i
tersebut ditunjukkan bahwa macam-macam hukum yaitu wadh’i, sebab, syarat mani’ (penghalang).
1)
Sebab
Menurut bahasa adalah sesuatu yang
dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat
menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang
dijadikan syari sebagai tanda adanya
hukum. Pengertian ini menunjukkan sebab
sama dengan illat, walaupun
sebenarnya ada perbedaan antara sebab
dengan illat tersebut.
Dengan demikian, terlihat keterkaitan dengan hukum wadh’i (dalam hal ini adalah sebab)
dengan hukum taklifi. Hukum wadh’i hanya sebagai petunjuk untuk
pelaksanaan hukum taklifi.
2)
Syara’
Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberdaan
hukum syara’ bergantung kepadanya.
Apabila syarat tidak ada hukum pun tidak ada tetapi adanya syara’ tidak mengharuskan adanya hukum
syara’.
3)
Mani’ (penghalang)
Yaitu sifat
yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Keterkaitan
antara sebab syara’ dan mani sangat erat. Penghalang itu ada
bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya starat-syarat. syari’ menetapkan bahwa
suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabnya, memenuhi
syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mani’)
dalam pelaksanaannya. Sebaliknya, hukum tidak ada apabila sebab dan
syarat-syaratnya tidak ada atau adanya halangan untuk mengerjakannya.
4)
Shihhah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan
tuntutan syara’ yaitu terpenuhnya sebab
syara’ dan tidak ada mani’. Oleh
sebab itu apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi maka shalat itu
tidak sah sekalipun mani’nya tidak
ada.
5)
Bathil
Yaitu terlepasnya hukum syara’ dan
ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya.
6)
Azimah dan rukhshah
Azimah
adalah hukum-hukum yang disyariatkan kepada seluruh hamba-Nya sejak
semula. Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu disyariatkan Allah. Sehingga
tidak disyriatkannya seluruh mukllaf
wajib mengikutinya.
III.
Pembuat Hukum (hakim)
Hakim
atau pembuat hukum dalah hal pentimg dalam hukum syara’. Siapakah hakim itu di
dalam hukum syara’?.hakim bisa diartikan orang yang merupakan sumber dari hakim
.Di sebagaian besar ulama berpendapat bahwa yang menjadi sumber hukum syar’i
bagi seluruh perbuatan mukallaf ialah Allah swt. Sama saja baik yang berupa
pernyataan hukum bagi perbuatan mukallaf langsung dari nash yang diwahyukan
oleh Allah kepada rasul-Nya.maupun yang merupakan petunjuk kepada mujtahid bagi
hukum dari hal perbuatan mukallaf dengan perantara dalil, atau perintah yang
disyariatkan untuk mengumpulkan hukum hukumnya.dalam hal ini ulama sepakat
mengatakan tentang definisi hukum syari’, bahwa firman Allah yang bersangkutan
dengan perbuatan mukallaf itu ditujukan, atau dipilih, atau ditempatkan. “ Tidak
ada hukum selain Allah Swt.”
Pendapat
kalangan Al-asyariah pengikut abu hasan al asyariyah mengatakan bahwa tidak
mungkin akal menegetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf, kecuali dengan
perantara rasul dan kitab. Karena akal itu berbeda-beda kemampuannya dalam menilai perbuatan. Sebagian menganggap baik
beberapa perbuatan itu, dan sebagian menganggap buruk. Alasannya karena
kebanyakan akal di kalahkan oleh nafsu. Sehingga tidak mungin dikatakan ,apa
yang diperhatikan oleh akal itu baik maka adalah baik di sisi Allah. Dalam
pandangan madzhab ini yang dianggap baik yaitu dari perbuatan mukallaf yang
sesuai dengan syari’, bahwa dia adalah baik dengan memperbolehkannyaatau
disuruh memperbuatnya.
Sedangkan
pendapat lain yaitu madzhab mu’tazilah yang beranggapan Bahwa ada
kemungkinan orang mengetahui hukum Allah dalam perbuatan mukallaf itu sendirinya
tanpa perantara kitab dan rasul. Karena tiap-tiap perbuatan yang dikerjakan
oleh mukallaf itu terdapat sifat sifat
dan mempunyai kemampuan berfikir yang dapat membedakan mudharat dan manfaat. Akal
itu mampu membina atas sifa- sifat perbuatan. Dan apa yang tersusun diatasanya
itu ada yang bermanfaat dan ada pula yang mudharat.maka hukumlah yang
menenntukan yang baik dan buruk. Hukum Allah terhadap perbuatan itu dapat
di perhitungkan menurut akal mana yang bermanfaat dan man pula yang mudharat ,Allah
meminta para mukallaf memperbuat apa yang bermanfaat kepada mereka menurut
perhitungan akal mereka itu dan sebaliknya meninggalkan mana yang menimbulkan
kemudharatan terhadapnya.
IV.
Objek Hukum (mahkum Bih)
Setelah
saya paparakan sipakah hakim dalam pembuat hukum itu selanjutnya saya akan bahas siapakah objek
hukum dalam hukum syara’mahkum bih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i sesuai
dengan Q.s almaidah yat 17 “hai orang orang yang beriman,tepatilah janji.” Ada
juga yang mengartikan objek hukum adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat
hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh manusia.atau dibiarkan oleh
pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak.
Sedangkan
menurut ahli fiqih objek hukum ialah sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’.
Objek hukum adalah perbuatan itu sendiri.hukum itu berlaku pada perbuatan dan
bukan pada zat.seperti daging babi.pada daging babi itu tidak berlaku hukum,
baik suruhan atau larangan berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan
daging babi” yaitu sesuatu perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi itu.
V.
Subjek Hukum (mahkum Alaih)
Ada
objek hukum tentunya ada subjek hukum.Subjek hukum disini adalah perbuatan
mukallaf yang menyangkutkan hukum syar’i dan diisyaratkan si mukallaf untuk
mensahkan taklifnya menurut syariat atas dua syarat. Pertama hendaklah
dia mampu memahami dalil taklif bahwa
dia mampu memahami undang undang yang dipaksakan kepadanya itu dari Al-quran
dan sunah.Itu sendiri atau dengan perantara. Orang yang tidak sanggup memahami
dalil taklif itu maka tidak mungkin dia melaksanakan
apa yang dipaksakan kepadanya itu dan tidak akan berhasil apa yang
dimaksudkannya itu. Kemampuan memahami dalil taklif itu hanya dapat dengan
mempergunakan nash-nash yang disusun oleh ahli ahli fikir yaitu dengan
mempergunakan akal.
Sedangkan
ada juga yang mndefinisikan bahwa subjek hukum ialah orang -orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat dan
segala tingkah lakunya telah memperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah. Dalam
ushul fiqh subjek hukum ini dalah mukallaf atau orang orang yang dibebani hukum
atau mahkum alaih yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum. Tentunya ada
beberapa hal yang harus dipahami oleh mukallaf yaitu paham atau mengetahui
kitab Allah yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan untuk melakukan. Kedua, seorang
muakallaf telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum kecakapan menerima
taklif.
VI.
Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i
Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklif dengan hukum al-wadh’i
yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum diatas. Perbedaan dimaksut antara
lain adalah :
1.
Dengan hukum al-taklif terkandung tuntutan untuk melaksanakan meninggalkan, atau
memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’i hal ini tidak ada melainkan mengandung keterkaitan antara
dua persoalan sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab penghalang atau syarat.
2.
Hukum
al-taklif merupakan tuntutan langsung pada mukallaf
untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau
tidak berbuat. Sedangkan hukum al-wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung
dilakukan mukallaf. Hukum al-wadh’i ditentukan syari’ agar dapat
dilaksanakan hukum al-taklif.
Misalnya zakat itu hukumnya wajib (hukum
al-taklif). Akan tetapi kewajiban ini
tidak bisa dilaksanakan apabila harta tersebut tidak mencapai ukuran satu nishab dan belum haul. Ukuran satu nishab
merupakan penyebab (hukum al-wadh’i) wajib zakat dan haul
merupakan syarat (hukum al-wadh’i)wajib zakat.
3.
Hukum
al-taklif harus sesuai dengan
kemampuan mukallaf untuk melaksanakan
dan meninggalkanya. Karena dalam hukum al-taklif tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) yang tidakmungkin dipikul oleh
mukallaf. Sedangkan dalam hukum al-wadh’i
hal seperti ini tidak dipersoalkan karena musyaqqah dan haraj dalam hukum al-wadh’i adakalanya dapat dipikul
mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan) dan
adakalanya diluar kemampuan mukallaf
seperti tergelincirnya matahari bagi wajibnya sholat Zhuhur).
4.
Hukum
al-taklif ditujukankepada mukallaf, yaitu kepada orang yang telah
baligh dan berakal. Sedangkan hukum al-wadh’i ditujukan kepada manusia mana
saja, baik telah mukallaf maupun
belum seperti anak kecil dan orang gila.
BAB III
KESIMPULAN
Kalangan
Ahli Ushul fiqh,hukum syara’adalah“Khitab(titah) Allah yg menyangkut tindak
tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan,pilihan berbuat atau tidak dalam bentuk
ketentuan-ketentuan. Contoh: “Kerjakanlah Shalat”, Janganlah kamu memakan harta
orang lain secara bathil. Para ahli fiqh membagi dua bagian
dalam hukum syara’. Pertama hukum taklifi dan hukum Wadh’i. hukum
Taklifi yaitu hukum yang menjelaskan tentang perintah larangan dan pilihan
untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. Contoh hukum yang menunjukkan
perintah adalah “dirikanlah shalat”, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji
ke baitullah. madzhab hanafi membagi hukum taklifi ini menjadi tujuh yaitu, fardhu,
wajib, mandub(sunat), Makruh tahrim,makruh Tanzih, haram dan mubah. Sedangkan
Hukum wadh’i sendiri adalah titah Allah yang berbentuk wadh’i, yang berbentuk
ketentuan yang ditetapkan Allah tidak langsung mengartru perbuatan mukalaf, tetapi
berkaitan dengan perbuatan mukallaf ituseperti tergelincirnya matahari menjadi
sebab masuknya waktu dhuhur. Hukum wadh’i sendiri terbagi menjadi lima yaitu
sebab, Syarat, Mani’, Rukhsah, Sah dan Batal. Hakim bisa diartikan orang yang
merupakan sumber dari hakim.
Di
sebagaian besar ulama berpendapat bahwa yang menjadi sumber hukum syar’i bagi
seluruh perbuatan mukallaf ialah Allah swt. Objek hukum adalah sesuatu yang
dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh
manusia.atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Menurut
ahli fiqih objek hukum ialah sesuatu yang berlaku pada hukum syara’. Objek
hukum adalah perbuatan itu sendiri.hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan
pada zat.seperti daging babi. Subjek hukum disini adalah perbuatan mukallaf yang
menyangkutkan hukum syar’i dan diisyaratkan si mukallaf itu untuk mensahkan
taklifnya menurut syariat atas dua syarat. Pertama hendaklah dia mampu
memahami dalil taklif bahwa mampu memahami undang undang yang dipaksakan
kepadanya dari Al-quran dan sunah sendiri atau dengan perantara. Orang yang
tidak sanggup memahami dalil taklif maka tidak mungkin melaksanakan apa yang
dipaksakan kepadanya dan tidak akan berhasil apa yang dimaksudkannya. Kemampuan
memahami dalil taklif hanya dapat dengan mempergunakan nash nash yang disusun
oleh ahli ahli fikir yaitu dengan mempergunakan akal.
DAFTAR PUSTAKA
H. Rasjid Sulaiman, 1994, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam),
Bandung, PT. Sinar Baru Algensido Offest
Abdul Wahab Khalaf, 2005, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta, PT. Rineka
Cipta
No comments:
Post a Comment